-->

BERISLAM DAN PANDANGAN RADIKAL

BERISLAM  DAN PANDANGAN RADIKAL



Detikinfo  | Pada tahun 1964, Jacques Ellul menulis buku yang sangat fenomenal, berjudul The Technology Soceity. Lalu Erich Formm, juga menulis The Revolution of Hope: Towards a Humanized Technology empat tahun setelahnya. Kedua buku ini meramalkan akan datang era millenial yang serba digital dan arus informasi begitu cepat, yaitu datangnya era revolusi industri 4.0 dan 5.0.

Bagian penting yang bisa ditarik dari dua buku itu adalah, jika arus informasi bertemu dengan mesin politik, mesin pasar dan proxy war, maka lahirlah sebuah ironi yang dahsyat, bahwa masyarakat akan mengalami proses dehumanisasi.


Karena tanpa sadar, keempat mesin itu akan menggerus sendi-sendi kemanusiaan, dan menjadikan masyarakat mengalami obyektifikasi dengan wajah abstrak dan ambigu. Masyarakat akan terserat pada cara pandang yang parsial, kulit luar dan cenderung reduksionistik.


Dampak lain yang mengerikan adalah tampilnya sejumlah masyarakat yang radikal pada agama dan politik kekuasaan. Bahkan akan orang sulit membedakan antara keduanya. Orang semacam ini akan bertebar dimana-mana, baik di dunia nyata maupun maya, terutama di kota-kota besar, 

Demikian pandangan Ahmad Muafiq yang juga Direktur Yayasan Kolaborasi Indonesia Jakarta.


Begitu “dunia ini” banyak diisi oleh orang-orang yang sebenarnya belum mengetahui duduk perkara, apalagi pernah ”tahu”, ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghirup”, atau ”meraba.” Tetapi ia sudah tampil di depan seolah-olah yang paling tahu, bahkan memposisikan dirinya bak seorang ahli agama dan hakim kepada dunia.


Baca Juga: Doktrin Keliru Al Wala Bara dan Faham Radikal:


Salah satu dampak nyatanya pada ranah sosial-politik adalah masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar, yaitu Kadrun versus Bipang atau Kampret verus Cebong. Dua narasi yang awal kemunculannya dimulai sejak pra-Pemilu 2015, tetapi hari ini makin runcing, meski kedua kubu (Jokowi-Prabowo) sudah ada dalam satu pemerintahan.


Dari narasi Kadrun ini, lalu berkembang dan menjadi fenomena baru, ada kecendrungan sebagian aktifis islam, mulai anti-Arab dan menyoal penggunaan bahasa yang ada unsur Arabnya, dan menyebut mereka sebagai “antek” Kadrun. Mereka beranggapan, untuk berislam hanya perlu mengambil ajarannya, bukan kebudayaannya. Lalu mereka mendompleng jargon Islam Nusantara dengan wawasan sempit.


Mereka lupa, bahasa dunia santri itu sangat akrab dengan istilah-istilah dari adaptasi bahasa Arab. Bahkan sebagian sudah menjadi percakapan sehari-hari, misalnya mereka menyebut istilah pembantu Kiai dengan Kodim, istri dengan harim, teman baik dengan karib, lalu ada roan, halal, tausiyah, khittah dan lainnya.


Baca Juga: RAPAT KERJA FKDM SE DKI JAKARTA : Ahmad Muafiq | Peran FKDM dalam mendukung Stabilitas Jakarta


Di luar pesantren, juga ada misalnya dalam tata negara (legislatif, yudikatif dan eksekutif), misalnya Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Pemusyawaratan Rakyat (DPR), lalu Hakim, Terdakwah, Rakyat (ruiyat), Masyarakat (Musyarakat), Amanat, Wakil, dan lain sebagainya, ini hanya contoh kecil.

Berpijak dari teori itu, maka berislam tidak mungkin sepenuhya bisa menjauh dari kebudayaan Arab, karena selain kitab Suci Islam itu berbahasa Arab, dalam banyak ritual, umat islam masih diwajibkan menggunakan bahasa Arab, seperti adzan dan shalat, juga ritual lainnya. Ibadah mahdzah itu menurut Khalil Abdul Karim dalam bukunya Juzur At-Tarikhiyah, sesungguhnya asal mulanya adalah warisan budaya Arab yang dilegalkan syariat.


Karena itu, dahulu para wali ketika menyebarkan Islam ke Nusantara tidak hanya merasa perlu membumikan istilah agama yang berbahasa Arab menjadi lokal, seperti shalat menjadi sembahyang, saum menjadi puasa, jannah menjadi surga dan nar menjadi neraka, tapi juga memasukkan istilah-istilah Arab dalam kenegaraan.


Di luar bahasa, para wali mengajarkan Aswaja dengan empat mazhab, menegakkan keadilan dengan undang-undang, dan kemakmuran rakyat dengan cara nelayan, pertanian, pertukangan dan perdagangan yang yang lebih efektif. ,


Para wali menyebut Nusantara dengan Negeri “Darussalam”, bukan Darul Islam.


Sementara, dalam sejarah Kesultanan Islam di seluruh Nusantara, dibelakangnya ada peran besar pendatang-Arab (habaib) yang bangga terhadap pribumi, bahkan Kesultanan Pontianak dididirikan oleh fam Al-Qodri Ba’lawi. Habib lain, untuk menyebut sedikit nama, diantaranya perancang lambang Garuda adalah Alhabib Abdul Hamid Alkadri.


Lalu perancang bendera merah putih kita adalah Alhabib Idrus Salim Aljufri, pencipta lagu Hari Merdeka kita adalah Alhabib Husain Muthahar, dan lain sebagainya. Pahamkah aktifis islam dari generasi melenial soal ini, yang tiap hari ketika mendengar nama Arab langsung membully dengan ‘Kadrun’?


Bukankah penyebutan istilah Kadrun itu mengandung muatan rasis?, yang itu paradoks dengan misi besar dengan diusungnya jargon Islam Nusantara demi tujuan humanisme yang rahmatan lilalamin, bukan untuk membanggakan diri dan “merendahkan” Arab. Wallahu’alam bishawab.


LihatTutupKomentar